TABEL PEMBAGIAN TUGAS
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Illegal Contents Yang Tersebar Didunia Maya
MAKALAH
ETIKA PROFESI TEKNOLOGI INFORMASI DAN
KOMUNIKASI
MUHAMMAD NABIL (17190202)
SHELLA MONIKA (17200272)
PROGRAM STUDI
TEKNOLOGI INFORMASI
FAKULTAS TEKNIK DAN
INFORMATIKA
UNIVERSITAS BINA
SARANA INFORMATIKA
DEPOK
2023
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Segala puji kami
panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan pencipta alam semesta yang menjadikan bumi
dan isinya dengan begitu sempurna. Tuhan yang menjadikan setiap apa yang ada
dibumi sebagai penjelajah bagi kaum yang berfikir. Dan sungguh berkat limpahan
rahmat -Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini demi memenuhi
tugas mata kuliah Etika Profesi Teknologi Informasi Dan Komunikasi.
Makalah yang bejudul “Illegal
Contents Yang Tersebar Didunia Maya” ini kami susun atas perintah atau
tugas yang diberikan oleh dosen kami. Selain itu, kami menyusun makalah ini
dengan harapan agar makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para
pembacanya, dan bagi kami tim penyusun pada khususnya. Kami menyadari bahwa
dalam penulisan ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu Kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Penyusunan makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih.
Depok, 19 Desember 2023
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan pesatnya
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, internet menjadi bagian integral
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat global. Internet memberikan kemudahan
akses informasi, komunikasi antarindividu, dan memfasilitasi berbagai transaksi
bisnis. Namun, pemanfaatan fasilitas internet pada akhirnya dapat mengarah
kepada dua konsekuensi, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Internet dapat
menghasilkan dampak positif apabila digunakan untuk tujuan positif. Sebaliknya,
internet dapat berdampak negatif ketika dimanfaatkan untuk kegiatan yang
merugikan, bahkan dapat dianggap sebagai tindakan kriminal yang berpotensi
merugikan orang lain.
Tindak kejahatan dalam
lingkungan jaringan internet, yang juga dikenal sebagai dunia maya, umumnya
disebut dengan istilah cybercrime. Secara etimologis, cybercrime berasal dari
gabungan kata "cyber," yang merujuk pada dunia maya atau internet,
dan "crime," yang berarti kejahatan. Dengan demikian, cybercrime
dapat didefinisikan sebagai segala bentuk kejahatan yang terjadi dalam ranah
internet atau dunia maya. Lebih lanjut, cybercrime dapat diartikan sebagai
aktivitas kriminal yang menggunakan teknologi komputer canggih, khususnya
melalui jaringan internet, sebagai alat utama dalam pelaksanaannya. Salah satu
kategori cybercrime yang terkenal adalah Illegal Contents.
Illegal contents
mencakup berbagai bentuk, mulai dari pornografi ilegal, perdagangan manusia,
narkoba, hingga terorisme. Semua ini dapat dengan mudah diakses oleh siapa
saja, tanpa batasan geografis, melalui internet. Fenomena ini tidak hanya
merugikan individu secara langsung, tetapi juga dapat memicu dampak yang lebih
luas, seperti merusak moralitas masyarakat, meningkatkan kriminalitas, dan
bahkan membahayakan keamanan nasional.
Tingginya aksesibilitas terhadap illegal contents di dunia maya menunjukkan bahwa perlu adanya upaya serius untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah, lembaga internasional, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama dalam merumuskan kebijakan dan strategi yang efektif untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran illegal contents. Selain itu, pelibatan aktif dari penyedia platform online dan industri teknologi informasi juga menjadi kunci utama dalam menjaga integritas dan keamanan internet.
Melalui makalah ini, diharapkan dapat diungkap secara mendalam tentang jenis-jenis illegal contents yang tersebar di dunia maya, dampaknya terhadap individu dan masyarakat, serta langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan ini. Selain itu, pemahaman lebih lanjut terkait urgensi kerjasama lintas sektor dan lintas negara juga perlu ditekankan agar solusi yang diusulkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan dalam menjaga keamanan dan moralitas di dunia maya.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada
penulisan makalah ini adalah:
1. Apa itu illegal Contents dan apa saja contoh kasusnya yang pernah terjadi
di dunia maya
2. Apa motif atau tujuan di balik penyebaran illegal contents di dunia maya.
3. Apa saja faktor-faktor yang menjadi pemicu dan penyebab kasus munculnya
illegal contents.
4. Apa saja penanggulangan yang tepat untuk mengatasi kasus illegal contents
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dan Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi mata kuliah Etika Profesi Teknologi Informasi Dan Komunikasi
sebagai salah satu syarat kelulusan di program studi Teknologi Informasi di
Universitas Bina Sarana Informatika
2. Mengetahui apa itu illegal contents dan contoh kasusnya yang pernah
terjadi di dunia maya
3. Mengidentifikasi motif atau tujuan di balik penyebaran illegal contents
di dunia maya.
4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi pemicu dan penyebab kasus munculnya
illegal contents.
5. Mengidentifikasi penanggulangan yang tepat untuk mengatasi kasus illegal
contents
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Cybercrime
Cybercrime merujuk pada tindakan
kriminal yang melibatkan penggunaan komputer untuk pencurian dan aktivitas
kriminal. Daftar kejahatan di dunia maya yang terus berkembang mencakup
perbuatan-perbuatan sepertiperetasan, pencurian, penipuan, penyebaran virus, dan tindak
kriminal digital lainnya(Rahayu et al., 2021).
Secara umum, definisi
cybercrime mencakup segala tindakan ilegal yang dilakukan melalui jaringan
komputer dan internet dengan tujuan meraih keuntungan sambil merugikan pihak
lain. Dalam konteks yang lebih sempit, cybercrime mencakup tindakan ilegal yang
ditujukan untuk merusak sistem keamanan komputer dan data yang diolah oleh
suatu sistem komputer.
Kejahatan dunia maya
dapat dilakukan dengan berbagai cara dan memiliki beragam tujuan. Biasanya,
kejahatan ini dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki pemahaman dan
keahlian di bidang teknologi informasi. Awal munculnya cybercrime tercatat pada
tahun 1988, yang dikenal sebagai periode "Cyber Attack." Pada masa
tersebut, pelaku cybercrime menciptakan worm dan virus yang menyerang komputer,
menyebabkan sekitar 10% komputer yang terhubung ke internet mengalami mati
total.
Cybercrime memiliki
beberapa karakteristik, seperti ruang lingkup kejahatan, sifat kejahatan,
pelaku kejahatan, modus operandi kejahatan, dan jenis kerugian yang
ditimbulkan. Untuk memudahkan penanganan, cybercrime diklasifikasikan ke dalam
beberapa kategori, termasuk Cyberpiracy, Cybertrespass, dan Cybervandalism.
Adapun beberapa jenis
cybercrime adalah:
1. Unauthorized Access,
penyusupan atau
pembobolan akun tanpa izin, seringkali digunakan untuk melakukan tindakan kriminal seperti penipuan atau pencurian data penting.
2. Illegal Contents,
menyebarluaskan konten
ilegal seperti berita palsu (HOAX), data pribadi atau negara tanpa izin atau
konten berunsur porno.
3. Data Forgery,
manipulasi data pada
dokumen penting di internet, seperti situs e-commerce.
4. Hacking dan Cracking,
pemahaman mendalam
terhadap sistem komputer dengan tujuan tidak etis, kegiatan ini biasanya
bertujuan untuk membobol proteksi keamanan suatu sistem atau perangkat lunak termasuk
pembajakan akun dan situs web.
5. Data Theft,
mencuri data dari sistem komputer
untuk keuntungan pribadi atau dijual kepada pihak lain.
6. Cyber Espionage,
memanfaatkan internet
untuk masuk ke sistem komputer pihak lain dengan tujuan memata-matai.
7. Cyber Sabotage dan Extortion,
menyusupkan virus atau
ransomware untuk merusak infrastruktur, sistem dan data yang dapat menyebabkan
kerugian bagi perusahaan
8. Cyber Typosquatting,
meniru atau mengkloning
situs web pihak lain untuk melakukan penipuan atau menyebarkan berita bohong.
9. CyberSquatting,
mendaftarkan domain
dengan nama perusahaan dan menjualnya dengan harga tinggi kepada perusahaan
tersebut.
10. Carding,
meretas dan membelanjakan
menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang lain.
2.2. Illegal Contents
Illegal Contents adalah
tindakan kriminal yang menyisipkan informasi atau data yang tidak akurat ke
dalam internet; selain itu, informasi yang dipresentasikan juga tidak etis dan
dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum atau mengganggu ketertiban umum(Amelia et al., 2023). Jenis konten ini sangat beragam dan mencakup berbagai bentuk
pelanggaran yang dapat menimbulkan dampak serius dalam ranah hukum dan keamanan
internet.
Ada beberapa jenis-jenis illegal
konten, salah satunya konten yang mencakup pelanggaran hak cipta, di mana
materi disebarkan tanpa izin atau melanggar hak cipta pihak lain. Selain itu,
konten porno atau pornografi anak merupakan bentuk konten ilegal yang
melibatkan materi yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melibatkan
pelanggaran hak dan perlindungan anak. Ada juga konten yang melibatkan data
pribadi atau negara yang disebarkan tanpa izin.
Secara hukum, setiap negara memiliki undang-undang yang mengatur dan menghukum pelanggaran terkait illegal content. Pelanggaran dapat berakibat pada sanksi hukum seperti denda, penahanan, atau tindakan hukum lainnya. Oleh karena itu, pentingnya tanggung jawab hukum dari platform online dan penyedia layanan internet untuk mengambil tindakan dalam mengatasi atau menghapus illegal content.
2.3. Cyberlaw
Hukum siber atau Cyberlaw
merujuk pada cabang hukum yang terkait dengan teknologi informasi dan
pemanfaatan internet. Lingkup hukum ini mencakup berbagai aspek, termasuk
privasi, keamanan data, kejahatan komputer, hak cipta, dan berbagai hal lainnya(Indriyani et al., 2023).
Cyberlaw
diperlukan untuk mengatasi cybercrime dan sangat terkait dengan upaya mencegah
serta menangani tindak pidana di dunia maya. Cyberlaw menjadi landasan hukum
untuk penegakan hukum dalam konteks elektronik dan komputer. Dengan kata lain,
keberadaan cyberlaw sangat penting karena menurut pendukungnya, Indonesia perlu
memiliki undang-undang siber mengingat hukum konvensional tidak cukup mampu
mengantisipasi perkembangan pesat di dunia digital.
Berikut adalah Undang-undang yang
mengatur illegal contents:
1. UU 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Pasal 4 huruf a dan huruf d, Pasal 6
dan Pasal 8
2. UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008 Pasal 28 ayat (1)
tentang penyebaran Hoax
3. UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008 Pasal 26 ayat (1)
dan (2) dan Pasal 30 ayat (2) dan (3) tentang peretasan data pribadi
4. UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008 yang mencakup Transaksi
di Internet, Etika Pengguna Internet, ancaman kekerasan dan pencemaran nama
baik melalui media elektronik
Adapun untuk
tindak pidananya adalah:
1. UU 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Pasal 29,
“Setiap orang yang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah)”.
2. UU ITE No. 19 Tahun 2016 Pasal 45A ayat (1),
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 1 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)”.
3. UU ITE No. 11 Tahun 2008 Pasal 46 ayat (2) dan (3),
Ayat (2) “Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)” dan ayat (3) “Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.
DPR mengesahkan Cyber
Law atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 25 Maret 2008. UU
ITE terdiri dari 13 BAB dan 54 pasal yang merinci dengan jelas peraturan yang
berlaku di dunia maya dan transaksi di dalamnya.
Secara umum, setiap negara mempertimbangkan lima aspek dalam hukum siber, yakni:
1. Keamanan Informasi,
mencakup autentikasi
pengirim dan penerima serta integritas pesan yang beredar di internet, termasuk
masalah kerahasiaan dan validitas tanda tangan elektronik.
2. Transaksi Online,
melibatkan penawaran,
pembelian, pembayaran, dan pengiriman barang melalui internet.
3. Hak dalam Informasi Elektronik,
membahas hak cipta dan
hak-hak yang muncul bagi pengguna dan penyedia konten.
4. Regulasi Konten Informasi,
menetapkan peraturan
hukum sejauh mana konten yang dikirim melalui internet.
5. Regulasi Kontak Online,
mencakup etika dalam
berkomunikasi dan berbisnis melalui internet, termasuk perpajakan, batasan ekspor-impor, kriminalitas, dan yurisdiksi hukum.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Analisis Contoh Kasus Illegal Contents Yang Tersebar Di Dunia Maya
3.1.1. Kasus Pornografi Gisel
Proses penyebaran
pornografi menjadi semakin mudah dilakukan dengan kemajuan teknologi internet
dan media sosial yang dapat diakses dengan cepat. Materi tersebut dapat
tersebar melalui situs web, blog, jejaring sosial, dan daftar email. Ironisnya,
semua itu memiliki penggemar yang berasal dari berbagai kelompok usia. Di
antara banyaknya individu yang menyebarkan konten pornografi, termasuk pelaku
dari kalangan anak di bawah umur, dengan alasan bervariasi seperti meneruskan
tautan tanpa menyadari isinya, atau sengaja mencari dan menyebarkan konten
tersebut karena rasa penasaran, tanpa menyadari bahwa tindakan tersebut
melibatkan diri dalam perbuatan pidana.
Contoh kasusnya pada awal
November 2020, jagad maya khususnya media sosial dihebohkan dengan kasus penyebaran
video asusila mirip artis terkenal Gisella Anastasia (Gisel). Video berdurasi
19 detik ini dengan cepat menyebar di media sosial tanpa kendali. Beberapa hari
setelah video porno mirip Gisella beredar, video mirip Jessica Iskandar dan
Anya Geraldin juga beredar.
Kasus penyebaran video
asusila ini menjadi kasus yang viral selama tahun 2020, dibuktikan dengan kasus
ini menjadi trending topic nomor satu di Twitter saat kejadian berlangsung.
Pada top trends Twitter terdapat topik ‘Gisel’ menjadi urutan pertama menyusul
kemudian topik ‘Telegram’, ‘Skandal’, ‘Fullnya’, ‘Vidio’, ‘Gercep’, ‘Gempi’,
‘Durasi’ dan ‘Kirim’. Topik-topik ini memiliki hubungan erat dengan isu
penyebaran video asusila tersebut.
Adapun motif pelaku adalah niat jahat untuk merusak reputasi artis-artis yang terlibat dalam video tersebut. Dengan menyebarkan video asusila yang mengaku mirip dengan artis terkenal, pelaku dapat menciptakan citra negatif terhadap artis tersebut. Motif pelaku lainnya melakukan tindakan sensasional seperti ini dengan tujuan mendapatkan popularitas atau perhatian di media sosial.
3.1.2. Kasus Hoax COVID 19
Hoax adalah informasi palsu atau bohong yang disebarkan dengan sengaja
untuk menyesatkan orang atau kelompok orang. Tujuan dari penyebaran hoax bisa
bermacam-macam, mulai dari menciptakan kekacauan, merusak reputasi, hingga
menciptakan ketakutan atau kepanikan di masyarakat. Hoax dapat disebarkan
melalui berbagai media, termasuk media sosial, surat kabar palsu, surel palsu,
atau melalui percakapan langsung.
Karakteristik utama dari hoax adalah
ketidakbenaran informasi yang disampaikan dan niat untuk menipu atau
menyesatkan penerima informasi. Hoax sering kali dimaksudkan untuk menarik
perhatian dan dapat menyebar dengan cepat di era digital, terutama karena
kemudahan berbagi informasi melalui platform media sosial.
Contoh kasus hoax
yang sempat heboh adalah berita hoax tentang Covid 19 yang tersebar secara
cepat. Salah satu contohnya yaitu beberapa berita palsu menyebutkan bahwa virus
COVID-19 sengaja diciptakan atau dilepaskan dari laboratorium, mengabaikan
konsensus ilmiah bahwa virus tersebut berasal dari hewan, kemungkinan dari
pasar hewan di Wuhan, Tiongkok. Contoh berita hoax tentang Covid 19 lainnya
yaitu munculnya berbagai teori konspirasi tentang vaksin COVID-19, seperti
klaim bahwa vaksin mengandung mikrocip untuk pelacakan manusia atau bahwa vaksin
memiliki efek samping yang serius dan tidak diungkapkan oleh pihak berwenang.
Berita hoax ini menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan di masyarakat serta ketidakpercayaan
terhadap pemerintah, lembaga kesehatan, atau otoritas medis dapat mendorong
individu untuk mencari informasi dari sumber yang kurang terpercaya atau
mengabaikan pedoman resmi.
Adapun motif pelaku penyebar hoax tersebut untuk menciptakan kekacauan atau ketidakstabilan dalam masyarakat dengan menyebarluaskan informasi palsu. Hal ini dapat menciptakan kebingungan, ketakutan, atau ketidakpastian yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Motif selanjutnya juga kemungkinan pelaku ingin mendapatkan perhatian atau menciptakan konten yang dapat menjadi viral di media social.
3.1.3. Kasus Penyebaran
Data Oleh Bjorka
Penyebaran data tanpa izin dapat dianggap sebagai illegal content terutama
jika melibatkan pelanggaran privasi atau pencurian identitas. Privasi individu
dihormati dan diatur oleh undang-undang privasi data di banyak yurisdiksi.
Tindakan yang melibatkan pengumpulan, pengolahan, atau penyebaran data pribadi
tanpa izin sering kali merupakan pelanggaran hukum.
Salah
satu contoh kasus terbesarnya adalah kasus Bjorka. Kasus Bjorka menciptakan
getaran di dunia internet dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemerintah
Indonesia. Dengan klaim meretas situs Kominfo dan mengakses dokumen rahasia BIN
yang dikirimkan ke Presiden Joko Widodo, Bjorka mengumumkan penjualan data
pribadi 105 juta warga Indonesia dari KPU serta memiliki 1,3 miliar data
registrasi SIM card prabayar. Ancaman terhadap pihak berwenang, termasuk klaim
membocorkan data Menteri Johnny G Plate dan dokumen rahasia Presiden,
menimbulkan ketidakpastian dan membuat pihak berwenang bersikap tegas.
Meskipun Juru Bicara BIN membantah bocornya dokumen, Bjorka tampaknya menunjukkan niatnya untuk menciptakan ketidakstabilan di pemerintahan, terutama dengan menyatakan tujuannya agar pemerintah tidak bisa berlibur di akhir pekan. Motifnya mungkin mencakup eksploitasi data pribadi untuk keuntungan finansial, ancaman terhadap otoritas untuk menciptakan ketidakstabilan, atau bahkan motif politis atau ideologis yang ingin dicapai melalui peretasan dan ancaman.
3.2. Motif dan Penyebab Dari Contoh Kasus Illegal
Contents
Berdasarkan hasil analisis
kasus illegal content yang disebutkan sebelumnya, penulis mengungkapkan motif
dan penyebab yang mendasari tindakan melanggar hukum dalam tiga konteks
berbeda. Kasus penyebaran video asusila mirip artis Gisel menunjukkan motif pelaku
yang bervariasi, termasuk niat jahat untuk merusak reputasi artis, menciptakan
citra negatif, dan mendapatkan popularitas di media sosial. Faktor penyebabnya
melibatkan kemudahan penyebaran konten pornografi melalui internet dan media
sosial, serta kecenderungan beberapa individu untuk menyebarkan konten tanpa
menyadari dampaknya.
Kasus penyebaran hoax terkait COVID-19 menggambarkan motif pelaku yang ingin menciptakan kekacauan, ketidakstabilan, dan ketakutan di masyarakat dengan menyebarluaskan informasi palsu. Kemudahan penyebaran informasi palsu melalui media sosial dan dampak dari teori konspirasi memainkan peran penting dalam menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan di kalangan masyarakat.
Kasus penyebaran data oleh Bjorka, motif melibatkan upaya menciptakan ketidakstabilan di pemerintahan, eksploitasi data pribadi untuk keuntungan finansial, dan ancaman terhadap otoritas. Pelanggaran privasi dan pencurian identitas dalam penyebaran data tanpa izin menjadi penyebab utama, ditambah dengan klaim ancaman terhadap pihak berwenang yang menciptakan ketidakpastian di tingkat pemerintahan. Dalam ketiga kasus tersebut, motivasi dan dampak illegal content terkait erat dengan dinamika digital dan sosial yang mempengaruhi cara informasi tersebar dan diterima dalam masyarakat.
3.3. Upaya Penanggulangan
Dari Contoh Kasus Illegal Content
Penanggulangan illegal
content memerlukan upaya bersama dari seluruh pihak terkait untuk menciptakan
lingkungan digital yang lebih aman, etis, dan dapat dipercaya. Di Indonesia,
undang-undang yang mengatur berbagai aspek terkait illegal contents, termasuk
penyebaran pornografi, hoax, dan pelanggaran privasi, antara lain adalah:
1. UU ITE,
Pasal-pasal terkait UU
ITE sering digunakan untuk menangani kasus-kasus seperti penyebaran hoaks, dan
peretasan data. Pasal yang sering dikutip dalam kasus ini adalah Pasal 26 ayat
(1) dan (2), pasal 28 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) dan (3)
2. UU Pornografi Nomor 44 Tahun 2008,
Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) mengatur tentang penyebaran
materi pornografi. Pasal 4 UU Pornografi menyebutkan bahwa setiap orang
dilarang memproduksi, membuat, menggandakan, mendistribusikan, mentransmisikan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi.
3. UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE):
Selain Pasal-pasal yang
terkait dengan kejahatan komputer, UU ITE juga memiliki Pasal-pasal terkait
dengan penyebaran informasi ilegal, fitnah, dan tindakan yang merugikan orang
lain.
Selain menggunakan dasar
hukum, adapun langkah lainnya yang dapat dilakukan dalam Penanggulangan illegal
content dari kasus-kasus yang disebut sebelumnya adalah:
1. Meningkatkan kesadaran publik tentang dampak negatif dan konsekuensi
hukum dari menyebarkan illegal content dapat menjadi langkah awal. Kampanye
edukasi dan sosialisasi di media massa serta platform media sosial dapat
membantu membentuk sikap yang lebih bertanggung jawab dalam berbagi informasi.
2. Perusahaan teknologi dan platform media sosial harus aktif dalam
meningkatkan keamanan digital. Langkah-langkah seperti pemantauan konten secara
proaktif, penggunaan algoritma kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi dan
menghapus illegal content, serta meningkatkan sistem pelaporan dapat membantu
mengurangi penyebaran ilegal content.
3. Memberikan pelatihan dan edukasi kepada pengguna internet, terutama
kepada anak-anak dan remaja, tentang etika digital, bahaya illegal content, dan
konsekuensinya dapat membantu menciptakan lingkungan online yang lebih aman.
4. Kerjasama antara pihak berwenang, perusahaan teknologi, dan penyedia layanan internet (ISP) penting untuk menciptakan solusi efektif. Membentuk kebijakan bersama, berbagi informasi, dan berkoordinasi dalam menanggulangi illegal content dapat memperkuat respons terhadap permasalahan tersebut.
5. Meningkatkan perlindungan privasi dan keamanan data individu dapat mengurangi peluang bagi pelaku illegal content untuk mengeksploitasi informasi pribadi. Langkah-langkah ini mencakup penguatan undang-undang privasi data dan kebijakan keamanan informasi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Melalui analisis kasus-kasus illegal
content yang tersebar di dunia maya, dapat disimpulkan bahwa fenomena ini
merupakan tantangan serius dalam era digital. Illegal content mencakup berbagai
tindakan cybercrime yang melibatkan penyebaran informasi ilegal atau merugikan,
seperti penyebaran konten pornografi, penyebaran hoax terkait COVID-19, dan
penyebaran data tanpa izin. Motif pelaku melibatkan niat jahat, pencarian
popularitas, atau bahkan tujuan politis. Dampaknya tidak hanya merugikan
individu yang terlibat, tetapi juga menciptakan ketidakpastian, kecemasan, dan
ketidakstabilan di masyarakat.
Dalam upaya penanggulangannya, peran semua pihak terkait sangat penting. Undang-undang seperti UU ITE, UU Pornografi, UU Perlindungan Data Pribadi, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi landasan hukum untuk menangani kasus-kasus illegal content. Namun, kesadaran publik, peran perusahaan teknologi, edukasi kepada pengguna internet, dan kerjasama antara pihak berwenang, perusahaan teknologi, serta penyedia layanan internet juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman.
4.1.Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa saran dapat diajukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi Sistem Informasi di Sekretariat DPRD Kota Depok:
1. Meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dan konsekuensi hukum dari
menyebarkan illegal content.
2. Membangun
kerjasama yang erat antara pihak berwenang, perusahaan teknologi, dan penyedia
layanan internet.
3. Hindari
konten negative.
4.
Perkuat Undang-undang dan hukum berlaku.
Dengan
menerapkan saran-saran di atas, diharapkan kita dapat terhindar dari perilaku
atau korban Cybercrime Illegal Contents, sehingga kita dapat menciptakan lingkungan
digital yang lebih aman, etis, dan dapat dipercaya bagi seluruh masyarakat
pengguna internet..
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, P. I., Purnomo, D.,
Arifin, A. S., & Indah, C. H. R. (2023). Penguatan Edukasi Hukum UU ITE dan
KUHP terhadap Informasi Hoax di Media Sosial. Anfatama Jurnal Pengabdian
Masyarakat, 2(4), 1–8.
Amelia. (2023). Kajian Hukum Terhadap
Tindak Pidana Penipuan Secara Online. Jurnal Inovasi Global SECARA ONLINE.
1(1), 14–25.
Indriyani, Fernando, A., &
Mahaputra, I. K. A. D. (2023). Pemanfaatan Video Animasi Menggunakan Website
Animaker untuk Media Informatif pada Mata Kuliah. Journal of Informatics,
8(1), 37–46.
Juditha, C. (2021). Isu Pornografi Dan Penyebarannya Di Twitter (Kasus Video Asusila Mirip Artis). Jurnal Penelitian Komunikasi Dan Opini Publik, 25(1), 15–30.
Rahayu, S. K., Ruqoyah, S., Berliana, S., Pratiwi, S. B., & Saputra, H. (2021). Cybercrime dan dampaknya pada teknologi e-commerce. Journal of Information System, Applied, Management, Accounting and Research, 5(3), 632. https://doi.org/10.52362/jisamar.v5i3.478
Tidak ada komentar:
Posting Komentar